Notification

×

Menimbang Ulang Syarat Usia Pemimpin: Antara Hak, Kearifan, dan Ancaman Dinasti Politik

Rabu, 03 September 2025 | September 03, 2025 WIB Last Updated 2025-09-04T00:09:33Z


Oleh: Ardhes Blandhivay Leuanan

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Padjadjaran


Wacana mengenai syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kembali mengemuka secara tajam ke hadapan publik. Gugatan uji materiil Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh berbagai pihak, termasuk Partai Solidaritas Indonesia (Perkara No. 29/PUU-XXI/2023), Partai Garuda (Perkara No. 51/PUU-XXI/2023), dan sejumlah kepala daerah muda (Perkara No. 55/PUU-XXI/2023), telah menempatkan para Hakim Konstitusi di hadapan sebuah ujian kenegarawanan yang krusial. 


Permohonan untuk menurunkan batas usia minimum dari 40 tahun menjadi 35 tahun didasarkan pada argumen hak konstitusional dan tren demografi pemilih muda. Namun, perdebatan ini sejatinya bukanlah barang baru dan memiliki akar historis yang dalam, serta membawa implikasi serius terhadap masa depan demokrasi Indonesia.


Jejak Perdebatan dari BPUPKI hingga Amandemen


Jika ditelusuri kembali ke fondasi awal republik ini, perdebatan mengenai batas usia pemimpin sudah menjadi diskursus di antara para pendiri bangsa. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Prataklykrama tercatat pernah mengusulkan usia minimal 40 tahun bagi seorang Presiden. Usulan ini didasari oleh pandangan bahwa usia tersebut mencerminkan kematangan yang cukup untuk memimpin negara. Namun, Soepomo menolak gagasan tersebut dengan argumen bahwa kebijaksanaan, kepandaian, dan keluhuran budi tidak selalu terikat pada usia. Menurutnya, pembatasan yang kaku justru berpotensi menghalangi individu-individu mumpuni di bawah usia tersebut untuk mengabdi.


Perdebatan ini kembali muncul saat amandemen UUD 1945 pada tahun 2000. Hamdan Zoelva dari Fraksi Partai Bulan Bintang mengusulkan batas usia 40 tahun, dengan merujuk pada pengalaman historis-religius diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul pada usia 40 tahun. Meski usulan ini tidak diadopsi ke dalam batang tubuh UUD 1945, para legislator sepakat untuk mendelegasikannya sebagai open legal policy yang pengaturannya diserahkan kepada undang-undang. Keputusan ini menunjukkan bahwa the framers UUD 1945 baik di masa awal kemerdekaan maupun di era reformasi, memandang bahwa persoalan usia tidak memiliki standar baku dan absolut.


UUD 1945: Hak dan Kematangan


Para pemohon uji materiil di MK mendasarkan argumen mereka pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menjamin "hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". Dari perspektif ini, pembatasan usia dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Namun, argumentasi ini perlu diuji lebih dalam. Jika sepenuhnya didasarkan pada hak, mengapa pembatasan berhenti di angka 35 tahun dan tidak lebih rendah lagi?


Di sinilah letak dilemanya. Penyelenggaraan negara tidak hanya soal pemenuhan hak, tetapi juga menuntut adanya kedewasaan, kecakapan, dan kematangan. James Madison dalam Federalist Paper No. 62 menekankan bahwa jabatan publik seperti senator memerlukan "tingkat pengetahuan dan stabilitas karakter yang lebih kuat dan dewasa". Hal serupa ditegaskan dalam General Comment 25 atas ICCPR yang menyatakan bahwa penentuan syarat usia yang lebih tinggi untuk jabatan publik tertentu adalah kriteria yang objektif dan masuk akal (reasonable). Dengan demikian, menetapkan batas usia bukanlah pelanggaran hak, melainkan sebuah rasionalitas demokrasi untuk memastikan pejabat publik memiliki kapabilitas yang memadai.


Konteks Ancaman Dinasti Politik


Perdebatan syarat usia hari ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang menyertainya, utamanya dengan munculnya nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai figur potensial. Kehadiran konteks ini memaksa kita untuk tidak hanya berkutat pada persoalan hak dan pengalaman, tetapi juga pada dimensi kearifan, kebijaksanaan, dan upaya pembatasan kekuasaan.


Menariknya, semangat pembatasan kekuasaan dan pencegahan dinasti politik justru menjadi salah satu alasan penetapan syarat usia 35 tahun untuk Presiden di Amerika Serikat. James Monroe, Presiden ke-5 AS, menjelaskan bahwa batas usia tersebut dirancang untuk mencegah anak seorang presiden yang sedang berkuasa dapat langsung menggantikannya. Semangat republikanisme ini bertujuan untuk membentengi negara dari potensi lahirnya "dinasti".


Meskipun dalam perdebatan di BPUPKI isu dinasti politik tidak secara eksplisit mengemuka, konteks kekinian di Indonesia menghadirkan kekhawatiran tersebut secara nyata. Prof. Bagir Manan mengingatkan bahwa jabatan Presiden di Indonesia sangat sentral, memegang kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Posisi ini menuntut individu yang tidak hanya matang dan berwawasan, tetapi juga memiliki kearifan untuk merangkul seluruh elemen bangsa yang majemuk.


Pada akhirnya, tidak ada formula pasti mengenai usia ideal seorang pemimpin. Studi perbandingan terhadap 195 konstitusi negara menunjukkan keragaman yang sangat luas, mulai dari 18 tahun hingga 50 tahun, bahkan ada yang menerapkan batas usia maksimal. Hal ini menegaskan bahwa penentuan syarat usia sangat bergantung pada konteks sosio-historis dan kepentingan politik suatu bangsa.


Putusan Mahkamah Konstitusi akan memiliki dampak hukum dan politik yang sangat signifikan bagi Pemilu 2024 dan masa depan demokrasi Indonesia. Para Hakim Konstitusi dituntut untuk menjadi negarawan yang mampu melampaui perdebatan teknis-yuridis. Mereka harus mempertimbangkan secara mendalam, apakah penurunan syarat usia capres-cawapres pada saat ini benar-benar merefleksikan kebutuhan akan pemimpin yang bijaksana dan arif, atau justru membuka jalan bagi pragmatisme politik dan potensi dinasti yang dapat membahayakan demokrasi itu sendiri. Pilihan ada di tangan mereka yang memprioritaskan hak semata, atau menimbangnya dengan kearifan demi menjaga muruah kekuasaan dan kepentingan jangka panjang bangsa. Oleh karena itu, kita lihat saja bagaimana sifat kenegarawan dapat menjadi pembeda dalam pengambilan keputusan.