Notification

×

Revisi RUU Pilkada oleh DPR: Apakah Ini Bentuk Pembangkangan Terhadap Konstitusi?

Kamis, 22 Agustus 2024 | Agustus 22, 2024 WIB Last Updated 2024-08-22T13:32:12Z

 

Penulis : Andre Lado, S.H., (Pengamat Media dan Hukum di DPW MOI Provinsi NTT)


Baru-baru ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengeluarkan keputusan kontroversial yang seolah membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui revisi RUU Pilkada. 


Langkah ini menuai pro dan kontra, menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai sejauh mana wewenang DPR dalam mengubah keputusan lembaga judicial tertinggi negara tersebut?


Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusi dan memberikan keputusan final mengenai keabsahan undang-undang, telah memutuskan beberapa aturan penting terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada). 


Namun, revisi yang dilakukan DPR terhadap RUU Pilkada tampaknya menolak atau mengabaikan putusan tersebut. 


Hal ini memicu anggapan bahwa DPR sedang melawan atau bahkan membangkang terhadap konstitusi yang telah ditetapkan.


Pembatalan keputusan MK oleh DPR melalui revisi undang-undang menimbulkan kekhawatiran mengenai stabilitas hukum dan kepatuhan terhadap prinsip konstitusi. 


Dalam sistem hukum Indonesia, MK berfungsi untuk memastikan bahwa semua undang-undang sesuai dengan UUD 1945. 


Dengan demikian, tindakan DPR yang mengubah undang-undang yang telah diperiksa dan diputuskan oleh MK dianggap sebagai upaya merongrong otoritas MK dan mengabaikan keputusan konstitusi yang sah.


Sebagai pengamat media dan hukum, saya berpendapat bahwa revisi ini menciptakan preseden buruk bagi sistem peradilan dan politik di Indonesia. 


Apabila DPR dapat dengan mudah membatalkan keputusan MK, maka stabilitas hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum bisa terganggu. 


Ini juga berpotensi memicu konflik antara lembaga-lembaga negara dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat berdampak pada pelaksanaan pemilihan umum di masa depan.


Di sisi lain, beberapa pihak mungkin mengklaim bahwa revisi ini dilakukan untuk menyesuaikan undang-undang dengan kebutuhan politik dan administrasi yang lebih relevan. 


Argumen tersebut bisa saja dibuat untuk memperkuat asumsi mereka bahwa penyesuaian ini adalah bagian dari proses legislatif yang sah, dan mereka memiliki wewenang untuk membuat perubahan yang dianggap perlu.


Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk memperhatikan dan menghormati prinsip-prinsip konstitusi serta mekanisme checks and balances yang ada. 


Perbedaan sudut pandang antara DPR dan MK harus diselesaikan dengan cara yang tidak merusak integritas sistem hukum dan konstitusi. Keterbukaan, dialog, dan komitmen terhadap hukum yang berlaku akan menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan publik dalam sistem pemerintahan Indonesia.**