BT.COM | KUPANG -- Potret menyentuh dan sekaligus menyedihkan datang dari Desa Fatukona, Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang. Seorang guru sekolah dasar di desa tersebut harus memikul air sejauh berkilo-kilometer setiap pagi dan sore hari karena tidak tersedianya akses air bersih.
Unggahan sang guru, yang bernama Gracella, viral di media sosial (Facebook). Ia menuliskan, “Sumber air semakin jauh jadi beginilah sudah rutinitas pagi dan sore hari. Nikmati saja tanpa mengeluh,” sembari memamerkan senyuman dan empat (4) jeriken besar di pundaknya. Senyuman itu menyembunyikan ironi pahit: seorang pendidik, yang seharusnya dihormati dan difasilitasi, kini justru menanggung beban fisik yang berat demi sekedar mendapatkan air bersih.
Komentar warganet membanjiri unggahan tersebut. Salah satunya menulis, “Mantap ibu,” dan yang lain menyemangati dengan berkata, “4 memang ni bodi langsung fitt.” Namun komentar paling menyayat adalah kenyataan bahwa seorang pahlawan tanpa tanda jasa harus berjuang untuk bertahan hidup, sementara pemerintah daerah tampak absen dari tanggung jawabnya.
Ini bukan sekadar kisah pribadi. Ini adalah tamparan keras bagi Pemerintah Kabupaten Kupang dan Pemerintah Provinsi NTT. Fakta bahwa seorang guru harus bangun lebih awal bukan untuk mempersiapkan pelajaran, melainkan untuk memikul air di tengah hutan, adalah kegagalan struktural yang tidak bisa lagi dibungkus dengan alasan klasik keterbatasan anggaran.
Air bersih adalah hak dasar. Dan guru adalah ujung tombak masa depan bangsa. Ketika seorang guru dipaksa berjuang seperti ini, maka masa depan murid-muridnya pun ikut terancam. Ini adalah cermin nyata bahwa pembangunan belum menyentuh akar persoalan rakyat kecil.
Sungguh menyedihkan ketika seorang Guru bisa berkata "nikmati saja tanpa mengeluh" karena sudah terlalu lama dibiarkan. Ini bukan soal sabar atau ikhlas – ini soal kelalaian negara. Pemerintah harus malu melihat ketangguhan rakyat kecil yang terus berjuang di tengah abainya mereka yang duduk nyaman di balik meja kantor ber-AC.
Pemerintah tidak bisa lagi berdiam diri. Bupati Kupang, DPRD, dan jajaran teknis terkait seperti Dinas PU dan BPBD harus turun tangan sekarang juga. Jangan hanya hadir di musim kampanye atau saat foto seremonial. Tugas pemerintah adalah melayani, bukan membiarkan rakyatnya bertahan hidup sendiri.
Sudah saatnya suara-suara dari pedalaman seperti Fatukona didengar. Jangan biarkan guru-guru hebat terus memikul jeriken dan diam-diam memikul pula beban ketidakadilan yang dibiarkan bertahun-tahun.
Fatukona hari ini bisa jadi gambaran seluruh pelosok yang terlupakan. Jika guru saja diperlakukan begini, bagaimana nasib masyarakat lainnya?
Catatan : Etmon Oba
Editor : Redaksi