Notification

×

Pendidikan untuk Mencerdaskan atau Membungkam?

Jumat, 12 September 2025 | September 12, 2025 WIB Last Updated 2025-09-13T06:42:50Z

 

Oleh: Etmon Oba, S. H

Penulis adalah pegiat media massa


Negara Republik Indonesia sejak awal berdiri sudah menegaskan dalam konstitusinya, tepatnya UUD 1945 Pasal 31, bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”


Kalimat ini jelas, lugas, dan penuh janji. Negara bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, sebagai seorang anak bangsa yang pernah duduk di bangku sekolah hingga perguruan tinggi, saya justru bertanya-tanya: apakah negara benar-benar mau rakyatnya cerdas? Atau pendidikan hanya sekadar proyek untuk mencetak rakyat yang patuh dan tunduk pada kekuasaan?


Sejak kecil kita diarahkan untuk sekolah. Orang tua dipaksa bekerja keras, bahkan berhutang, demi membayar seragam, buku, dan iuran sekolah. Kita diberi tahu bahwa sekolah adalah jalan menuju masa depan yang cerah.


Namun kenyataannya, sekolah lebih sering menekankan kepatuhan ketimbang keberanian berpikir. Murid yang terlalu banyak bertanya sering dianggap mengganggu. Mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dianggap pembuat onar. Padahal, bukankah inti dari pendidikan adalah membuka pikiran, melatih logika, dan menumbuhkan keberanian untuk mempertanyakan apa yang salah?


Kalau begitu, sekolah kita mau melahirkan apa? Apakah hanya lulusan yang pandai menghitung dan menulis, tapi takut berbicara?


Di kampus saya belajar hukum, membaca banyak buku tentang demokrasi, konstitusi, dan hak warga negara. Saya paham betul bahwa dalam negara demokrasi, kritik adalah hak, bukan dosa. Kritik adalah suara rakyat yang seharusnya didengar, bukan dibungkam.


Tapi apa yang terjadi di negeri ini? Begitu rakyat bersuara lantang, negara buru-buru melabeli: “provokator”, “perusuh”, atau bahkan “anti-pemerintah.”


Contohnya jelas. Tahun 2019, gelombang mahasiswa turun ke jalan menolak revisi UU KPK dan RKUHP. Apa yang mereka dapat? Gas air mata, pentungan, dan kriminalisasi. Beberapa mahasiswa bahkan tewas, seperti Randi dan Yusuf di Kendari. Bukankah mereka adalah anak bangsa yang sedang menjalankan amanat konstitusi dengan bersuara untuk keadilan?


Tahun 2023, ribuan mahasiswa juga menolak kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang mencekik. Alih-alih didengar, mereka dituding ditunggangi kepentingan politik. Padahal, apa salahnya mahasiswa menolak biaya pendidikan yang mahal? Bukankah negara wajib memastikan pendidikan terjangkau?. 


Kenyataan lain yang menyakitkan adalah biaya pendidikan yang kian mahal.


Sementara di daerah terpencil, banyak siswa terpaksa putus sekolah karena tidak mampu membayar seragam atau ongkos transportasi.



Ironisnya, negara berani mengatakan “SDM Unggul untuk Indonesia Maju”, tapi justru menghalangi rakyat untuk mengenyam pendidikan layak. Lebih ironis lagi, rakyat yang berhasil sekolah dan berani bersuara justru dianggap pengacau.


Jadi, untuk apa negara mencerdaskan kehidupan bangsa kalau rakyat cerdas dianggap ancaman?


Saya ingin mengingatkan kembali apa yang ditulis dalam UUD 1945. Frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa” bukan berarti menjinakkan rakyat agar nurut. Bukan pula menjadikan rakyat sebagai robot yang hanya mengangguk pada penguasa.


Mencerdaskan artinya membuat rakyat berani berpikir, mampu membedakan benar dan salah, serta siap menyuarakan keadilan meski pahit. Kalau negara hanya mau rakyat yang cerdas di atas kertas, tapi bisu di hadapan penguasa, maka itu bukan mencerdaskan, melainkan membelenggu.


Mari kita jujur: yang paling ditakuti penguasa bukan rakyat bodoh, tapi rakyat cerdas. Rakyat bodoh mudah diarahkan dengan sembako, uang seratus ribu, atau janji-janji kampanye. Tapi rakyat cerdas tidak mudah ditipu. Rakyat cerdas akan bertanya, menuntut, dan melawan jika kebijakan menyengsarakan.


Itulah mengapa kita sering melihat bagaimana aktivis dibungkam, mahasiswa dipukuli, guru kritis dimutasi. Semua itu adalah tanda bahwa negara sesungguhnya tidak siap dengan rakyat cerdas. Negara ingin rakyat sekolah, tapi jangan sampai terlalu berani berpikir.


Bagi saya, pendidikan sejati bukan sekadar gelar atau ijazah. Pendidikan sejati adalah keberanian untuk mencari kebenaran, meskipun kebenaran itu pahit bagi penguasa. Pendidikan sejati adalah keberanian untuk berkata “tidak” pada ketidakadilan, meski suara kita dianggap mengganggu.


Kalau sekolah hanya menjadikan kita patuh, diam, dan takut, maka sekolah gagal menjalankan amanat UUD 1945. Pendidikan semacam itu hanya menjadi alat kekuasaan, bukan jalan menuju kemerdekaan pikiran.



Saya seorang anak bangsa yang percaya pada kekuatan pikiran, saya ingin menegaskan: negara tidak boleh hanya menjadikan pendidikan sebagai alat pencitraan. Jangan hanya menjual slogan “SDM Unggul, Indonesia Maju” jika pada kenyataannya rakyat yang unggul dalam berpikir justru dibungkam.


Kalau benar negara ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, maka biarkan rakyat bebas berpikir, bebas bersuara, dan bebas mengkritik. Karena tanpa kritik, demokrasi hanyalah sandiwara. Tanpa kritik, bangsa ini akan terus jalan di tempat, dibungkus kepatuhan palsu.


Negara harus berani menerima bahwa rakyat yang cerdas pasti kritis. Dan kritik bukan tanda permusuhan, melainkan tanda cinta pada bangsa. Karena hanya rakyat yang peduli yang mau bersuara.


Maka saya bertanya lagi: untuk apa kita sekolah kalau akhirnya suara kita dianggap melawan?