BT.COM | KUPANG -- Banyak-advokat-ditersangkakan sehingga Prof.Dr.otto hasibuan,SH,.MM katakan perlunya Peradi lanjutkan Mou dengan-polri.
Keliatan Skali banyak penyidik belum memahami hak imunitas yang dimiliki oleh advokat, seperti yang termaktub pada Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Ketidakpahaman ini mendatangkan kerugian bagi sejumlah advokat.
Guna meluruskan hal tersebut, Prof Otto Hasibuan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) mendorong segera dilakukan perpanjangan Memorandum of Understanding (MoU) antara Peradi dengan Kepolisian Republik Indonesia.
Sebelumnya, sudah pernah ada MoU di antara kedua pihak, tapi masa berlakunya sudah habis sehingga harus diperpanjang. “Kami akan segera menindaklanjuti penandatanganan MoU kembali dengan Kapolri. Tapi lepas dari itu, para penyidik juga harus mempelajari UU 18/2003 tersebut,” kata Prof Otto kepada para wartawan setelah lakukan pelantikan 4 Dewan Pimpinan Cabang Peradi yaitu Kota Kupang, kabupaten Kupang- Oelamasi, Timor Tengah Selatan atau Soe dan kabupaten Belu di Atambua (01-09-2023) pada Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Lanjut Prof Otto, dengan tegas dikatakannya bahwa saat ini semakin banyak advokat diperiksa terkait membela kliennya, bahkan ujungnya dijadikan tersangka, entah dianggap menghalangi penyidikan atau bekerja sama membantu kliennya. Padahal, Pasal 16 UU 18/2003 secara jelas mengatakan, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang”.
Ini diperkuat lagi oleh Mahkamah Konstitusi yang justru memperluas hak imunitas advokat. MK menyatakan, hak imunitas advokat ketika menjalankan profesinya bukan hanya di pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan.
Jadi jelas bahwa advokat tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana, di dalam maupun di luar pengadilan. Namun saat melakukan tugasnya harus dengan itikad baik.
Penilaian seorang Profesi advokat beritikad baik atau tidak bukan penyidik, akan tapi Dewan Kehormatan yang ada di dalam organisasi advokat. “Di Peradi kami memiliki Dewan Kehormatan yang tugasnya memeriksa advokat yang melanggar kode etik. Dari hasil pemeriksaan akan terlihat apakah seseorang beritikad baik atau tidak selama menangani kasus kliennya,” terang Prof Otto.
Dirinya mengaku prihatin melihat sikap penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan yang kurang memahami UU Advokat. “Mereka tidak paham akan kedudukan advokat. Malah hak imunitas itu ditanggapi sinis seolah advokat Kebal hukum,” imbuhnya.
Prof Otto menegaskan, advokat tidak kebal hukum. Hanya saja, tidak bisa langsung ditersangkakan, sebelum mendapat rekomendasi dari Dewan Kehormatan Peradi. “Kalau Dewan Kehormatan menyatakan seorang advokat itu bersalah, baru bisa diperiksa oleh penyidik. Advokat Tidak bisa langsung ditersangkakan,” tegasnya.
Dalam menangani suatu perkara, seorang advokat berperan untuk memberi rasa keadilan kepada kliennya. Itu bukan berarti kliennya harus menang di pengadilan, misalnya. Tapi bagaimana klien didampingi oleh advokat, maka si pencari keadilan itu akan lebih memahami hukum dan bisa lebih tenang dalam menjalani proses kasusnya.
Prof Otto membeberkan perbedaan kewenangan antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan advokat. “Kepolisian dan Kejaksaan diberi kewenangan oleh negara untuk melakukan penyidikan, penahanan, dan projusticia lainnya. Bahkan untuk jaksa bisa melakukan penuntutan. Advokat tidak begitu. Kepada advokat diperintahkan untuk menegakkan hukum dan keadilan serta diberikan hak imunitas sebagaimana diatur Pasal 16 UU Advokat. Adanya hak imunitas dimaksudkan agar advokat tidak takut dalam menjalankan profesinya dengan itikad baik,” urainya.
Dia menegaskan, kalau sedikit-sedikit advokat diperiksa, ya takut juga. Lantas, kalau advokat takut siapa lagi yang akan membela para pencari keadilan. Kalau sudah demikian, maka masyarakat akan teraniaya dan mudah dijerat hukum karena ketidaktahuannya. “Itu filosofi dari hak imunitas. Jadi bukan juga untuk gagah-gagahan sebagai advokat, melainkan tetap berjalan dalam koridor kode etik profesi,” tukasnya.
Prof Otto meminta para penyidik Polri maupun Kejaksaan untuk tidak apriori dengan advokat. Sebab, sesama penegak hukum, advokat juga punya kewenangan, utamanya untuk membela para pencari keadilan. “Yang dilakukan advokat adalah mencari kebenaran dan keadilan. Dengan begitu penegakan hukum akan tercipta, bukan hukum rimba yang berlaku,” cetusnya.
Prof Otto menyerukan kepada seluruh advokat untuk bersatu dan berjuang dalam menjelaskan kepada semua pihak soal hak imunitas. “Kita (advokat) tidak kebal hukum. Tapi kalau ada yang terbukti menyalahgunakan profesinya saat membela klien dengan itikad tidak baik, silahkan proses hukum, Tapi harus dibuktikan juga, tidak serta merta dijadikan tersangka. Kalau belum dibuktikan melalui keputusan Dewan Kehormatan Peradi, dan penyidik mentersangkakan advokat maka penyidik bisa dikatakan telah melanggar hukum,” ucapnya.
Lebih jauh Prof Otto menerangkan, kalau advokat diperiksa sebagai saksi atas kasus kliennya, maka otomatis akan membeberkan rahasia klien tersebut, Padahal dalam Undang - Undang Advokat menyatakan bahwa Advokat wajib menjaga atau tidak boleh membuka rahasia kliennya.
“Kalau seorang advokat membuka rahasia kliennya, maka kena tindak pidana. Klien Anda bisa melaporkan ke polisi,” katanya.
Namun, Prof Otto dengan tegas meminta para advokat kalau ada panggilan dari penyidik sebagai saksi untuk kasus kliennya, sebaiknya datang. Tapi saat diperiksa, advokat harus tegas menolak karena berpotensi melanggar rahasia jabatan. “Tolak saja. Kan nanti akan dimasukkan dalam berita acara pemeriksaan,” sarannya.
Advokat senior ini juga mendorong seluruh advokat memahami ketentuan tersebut sehingga bisa menjelaskannya kepada penyidik.**