BT.COM -- Pulau Pasir, juga dikenal sebagai Ashmore and Cartier Islands, merupakan gugusan pulau kecil yang terletak di Laut Timor, di antara Australia dan Indonesia. Kontroversi mengenai kepemilikan pulau ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dan melibatkan berbagai argumen sejarah, geografis, dan hukum internasional.
Pulau Pasir terdiri dari dua bagian utama: Kepulauan Ashmore dan Pulau Cartier. Kepulauan Ashmore terdiri dari tiga pulau kecil yang dikelilingi oleh terumbu karang, sementara Pulau Cartier adalah sebuah atol kecil. Pulau-pulau ini dikenal karena keanekaragaman hayati lautnya, termasuk terumbu karang yang kaya dan berbagai spesies laut.
Sejarah klaim atas Pulau Pasir cukup kompleks. Pada abad ke-19, pulau-pulau ini sering dikunjungi oleh nelayan dari Indonesia, khususnya dari Pulau Rote dan Timor. Mereka datang untuk mencari teripang dan sumber daya laut lainnya. Kehadiran nelayan Indonesia di pulau ini telah berlangsung selama berabad-abad sebelum adanya klaim teritorial modern.
Pada awal abad ke-20, Inggris mengklaim kepemilikan atas Kepulauan Ashmore dan Cartier. Pada tahun 1931, Inggris menyerahkan administrasi pulau-pulau ini kepada Australia. Sejak itu, Australia mengelola pulau-pulau ini sebagai bagian dari wilayahnya. Pemerintah Australia menetapkan Pulau Pasir sebagai cagar alam pada tahun 1983 untuk melindungi ekosistemnya yang rapuh.
Meskipun demikian, Indonesia mengajukan klaim historis atas Pulau Pasir berdasarkan aktivitas nelayan Indonesia yang telah berlangsung selama berabad-abad. Argumen ini didasarkan pada prinsip hukum internasional yang mengakui klaim historis atas suatu wilayah jika ada bukti kuat mengenai penggunaan dan eksplorasi yang konsisten oleh penduduk suatu negara.
Indonesia juga mengacu pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang menyatakan bahwa negara kepulauan memiliki hak atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut dari garis pantai terluar mereka. Dalam konteks ini, Indonesia berpendapat bahwa Pulau Pasir terletak dalam ZEE Indonesia.
Di sisi lain, Australia berargumen bahwa klaim mereka atas Pulau Pasir didasarkan pada penyerahan administratif oleh Inggris dan pengakuan internasional atas kedaulatan mereka. Australia juga menekankan pentingnya melindungi ekosistem pulau-pulau ini melalui penetapan cagar alam dan pembatasan akses manusia.
Klaim Australia didukung oleh beberapa perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia yang mengatur batas maritim antara kedua negara. Perjanjian-perjanjian ini, termasuk Perjanjian Perbatasan Maritim Indonesia-Australia 1997, menetapkan garis batas yang menguntungkan posisi Australia dalam klaim atas Pulau Pasir. Meskipun perjanjian ini tidak secara eksplisit membahas kepemilikan Pulau Pasir, mereka memberikan kerangka hukum yang memperkuat posisi Australia.
Selain itu, Australia telah mengembangkan infrastruktur di Pulau Pasir, termasuk stasiun meteorologi dan fasilitas penelitian ilmiah. Kehadiran fisik dan aktivitas pembangunan ini memperkuat klaim Australia atas pulau-pulau tersebut berdasarkan prinsip efektivitas dalam hukum internasional.
Meskipun demikian, beberapa pakar hukum internasional berpendapat bahwa klaim historis Indonesia masih memiliki dasar yang kuat. Mereka menyarankan bahwa kedua negara dapat mencari solusi melalui dialog diplomatik dan penyelesaian sengketa yang damai. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang mendorong penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan arbitrase.
Pada tahun 1997, Indonesia dan Australia menandatangani Perjanjian Timor Gap yang mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut di wilayah perbatasan maritim kedua negara. Meskipun perjanjian ini tidak secara langsung terkait dengan Pulau Pasir, ia menunjukkan upaya kedua negara untuk bekerja sama dalam mengelola sumber daya laut yang diperebutkan.
Pada tahun 2018, Indonesia dan Australia menandatangani Perjanjian Perbatasan Maritim yang baru, yang dikenal sebagai Treaty on Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS). Perjanjian ini menggantikan Perjanjian Timor Gap dan mencerminkan perubahan dinamika politik dan ekonomi di kawasan tersebut. Meskipun perjanjian ini juga tidak secara langsung terkait dengan Pulau Pasir, ia menunjukkan komitmen kedua negara untuk menyelesaikan sengketa maritim melalui dialog dan negosiasi.
Namun, hingga kini, masalah kepemilikan Pulau Pasir tetap belum terselesaikan sepenuhnya. Kedua negara terus berupaya untuk mencari solusi yang adil dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Beberapa pakar menyarankan bahwa arbitrase internasional atau pengadilan internasional dapat menjadi mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai.
Selain aspek hukum, isu kepemilikan Pulau Pasir juga memiliki implikasi ekonomi dan strategis. Pulau-pulau ini terletak di wilayah yang kaya akan sumber daya alam, termasuk potensi minyak dan gas bumi di bawah dasar laut. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa ini tidak hanya penting dari segi kedaulatan, tetapi juga dari segi ekonomi dan keamanan energi.
Selain itu, Pulau Pasir juga memiliki nilai strategis karena lokasinya yang dekat dengan jalur pelayaran internasional. Kontrol atas pulau ini dapat memberikan keuntungan geopolitik bagi negara yang memiliki kedaulatan atasnya. Oleh karena itu, kepemilikan Pulau Pasir menjadi isu yang sensitif dalam hubungan bilateral Indonesia dan Australia.
Meskipun ada berbagai kepentingan yang terlibat, kedua negara telah menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan sengketa ini melalui cara-cara damai. Dialog diplomatik dan kerjasama bilateral tetap menjadi pendekatan utama dalam upaya mencari solusi yang adil dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Secara keseluruhan, kontroversi mengenai kepemilikan Pulau Pasir adalah contoh kompleksitas sengketa maritim di kawasan Asia-Pasifik. Sengketa ini melibatkan berbagai aspek hukum, sejarah, ekonomi, dan geopolitik yang saling terkait. Meskipun belum ada penyelesaian yang definitif, kedua negara terus berupaya mencari solusi melalui dialog dan negosiasi yang konstruktif.(Red)