Notification

×

Fragmentasi Organisasi Advokat: Ancaman Nyata bagi Tegaknya Keadilan

Selasa, 29 April 2025 | April 29, 2025 WIB Last Updated 2025-04-29T13:46:51Z


BT.COM -- Profesi advokat atau yang biasa dikenal Pengacara adalah salah satu pilar utama dalam sistem hukum (Pasal 5 UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat). Advokat tidak hanya bertindak sebagai pembela hukum, tetapi juga sebagai penjaga keadilan. Di negara hukum, kehadiran advokat adalah keniscayaan — mereka menjadi suara bagi yang tak bersuara, pembela bagi yang tertindas. Namun, di tengah tugas mulia itu, Indonesia menghadapi realitas yang memprihatinkan: fragmentasi organisasi advokat. Jumlah organisasi advokat kian banyak, masing-masing dengan kepentingan, standar, dan arah perjuangan sendiri. Apakah ini pertanda kemajuan atau justru kemunduran? Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa ini lebih banyak membawa kemunduran daripada perbaikan, terutama dalam konteks tegaknya keadilan.



Sejak Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa tidak boleh ada satu-satunya wadah tunggal advokat (putusan No. 101/PUU-VII/2009), berbagai organisasi advokat mulai bermunculan. Jika dulu hanya dikenal PERADI sebagai wadah tunggal, kini muncul banyak organisasi seperti KAI, PERADI RBA, PERADI Suara Advokat Indonesia, AAI, dan puluhan lainnya. Dalam semangat demokrasi, keberagaman ini mungkin terlihat positif. Namun, dalam praktiknya, justru menciptakan kekacauan etik, rivalitas kepentingan, dan disorientasi fungsi.



Setiap organisasi mengklaim sebagai yang sah, paling profesional, dan paling layak merepresentasikan profesi advokat. Alhasil, terjadi perebutan legitimasi, dualisme dalam pendidikan advokat, dan bahkan konflik dalam hal pelantikan serta pengawasan etik. Dalam suasana seperti ini, siapa yang benar-benar menjaga integritas profesi? Siapa yang memastikan bahwa advokat yang dilantik betul-betul layak? Tak ada kepastian. Yang ada justru pertarungan kuasa berkedok profesionalisme.



Banyaknya organisasi advokat menciptakan fragmentasi standar dan pengawasan, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pelayanan hukum. Ada organisasi yang longgar dalam seleksi dan pelantikan, karena lebih mementingkan kuantitas anggota daripada kualitas integritas. Advokat menjadi sekadar profesi yang bisa dibeli lewat uang dan koneksi, bukan dipertaruhkan melalui perjuangan dan moralitas.



Implikasinya sangat serius. Ketika seseorang yang tidak layak menjadi advokat dapat dengan mudah mendapatkan lisensi hanya karena dilantik oleh organisasi tertentu, maka kualitas bantuan hukum yang diberikan pada rakyat pun dipertanyakan. Keadilan menjadi komoditas — siapa yang mampu membayar, bisa mendapatkan pembela yang kuat, meskipun penuh intrik licik. Sedangkan rakyat kecil yang hanya bisa mengandalkan bantuan hukum gratis harus menerima bantuan dari advokat yang entah berasal dari organisasi mana, dengan standar etika yang kabur.



Lebih ironis lagi, ketika seorang advokat melakukan pelanggaran etik, mekanisme penindakannya kerap berbeda-beda di tiap organisasi. Tak ada satu sistem disiplin etik nasional yang terpadu. Akibatnya, advokat yang bermasalah di satu organisasi bisa ‘menyelamatkan diri’ dengan berpindah ke organisasi lain. Inilah lubang besar dalam sistem: keadilan bocor karena organisasi saling tumpang tindih dan enggan bekerja sama dalam menjaga integritas profesinya.



Tak bisa dipungkiri, fragmentasi organisasi advokat juga menciptakan arena politik terselubung. Organisasi advokat tidak jarang menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk membangun pengaruh hukum-politik. Mereka berlomba-lomba merekrut anggota sebanyak mungkin demi memperkuat posisi tawar terhadap lembaga negara, seperti Mahkamah Agung atau Kementerian Hukum dan HAM.



Tapi siapa yang benar-benar diuntungkan? Bukan masyarakat. Bukan pencari keadilan. Yang diuntungkan adalah segelintir elit organisasi yang menguasai struktur kekuasaan, memonopoli pendidikan profesi, dan mengatur distribusi ‘jasa’ hukum sesuai kepentingan mereka. Praktik kartel hukum diam-diam terbentuk, berlindung di balik legitimasi organisasi yang seharusnya independen dan profesional.



Kondisi ini diperparah oleh ketiadaan regulasi yang tegas dan komprehensif dari negara. Pemerintah seolah melepaskan tanggung jawab terhadap profesi advokat setelah putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal, dalam sistem hukum yang sehat, profesi hukum tidak bisa dibiarkan mengatur dirinya sendiri tanpa pengawasan eksternal. Negara tetap harus hadir sebagai pengendali standar minimum etika.



Profesi advokat bukan sekadar profesi bebas, tetapi bagian dari sistem peradilan yang menyangkut nasib dan hak-hak warga negara. Jika hakim dan jaksa memiliki standar yang dikontrol oleh negara melalui Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, mengapa advokat dibiarkan tanpa kendali terpusat? Ketidakhadiran negara dalam menertibkan organisasi-organisasi advokat telah menciptakan ruang abu-abu yang dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk membangun kekuasaan semu dan memperlemah profesi itu sendiri.



Negara perlu hadir, bukan untuk memonopoli atau mengontrol independensi advokat, melainkan untuk membuat kerangka regulasi nasional yang memaksa semua organisasi tunduk pada satu sistem etik, satu standar pelatihan, dan satu badan pengawasan etik yang independen. Tanpa itu, fragmentasi hanya akan terus menciptakan celah bagi pelanggaran hukum, kolusi, dan permainan kepentingan.



Yang paling terdampak dari kekacauan ini tentu saja adalah masyarakat pencari keadilan, terutama kalangan menengah ke bawah. Mereka tak memiliki akses untuk memilih advokat berdasarkan kualitas, hanya berdasarkan rekomendasi atau keterjangkauan. Dalam situasi seperti ini, ketika organisasi advokat tidak menjamin mutu anggotanya, rakyat sering kali tertipu oleh advokat yang tidak etis, tidak kompeten, bahkan manipulatif.



Kasus-kasus salah urus hukum, manipulasi dokumen, penelantaran perkara, hingga penggelapan uang klien menjadi semakin sering terdengar. Namun sanksi etik terhadap advokat pelaku jarang terdengar keras. Mengapa? Karena organisasi yang menaungi mereka lemah dalam pengawasan atau bahkan enggan menjatuhkan sanksi karena alasan solidaritas atau politis. Maka, keadilan terpinggirkan, sementara citra profesi advokat makin terpuruk di mata publik.



Satu-satunya jalan keluar dari krisis ini adalah menyatukan kerangka etik dan profesionalisme advokat secara nasional, tanpa mengorbankan demokrasi organisasi. Negara bisa membentuk Dewan Advokat Nasional yang terdiri dari perwakilan semua organisasi, tetapi memiliki satu kode etik yang sama, satu sistem pelatihan terstandar, dan satu mekanisme disiplin yang mengikat semua anggota — apapun organisasinya.



Selain itu, perlu ada pembatasan pendirian organisasi advokat baru. Jika setiap perpecahan kecil dalam internal organisasi menghasilkan organisasi baru, maka akan ada ratusan organisasi dalam beberapa dekade. Hal ini harus diatur melalui perundang-undangan yang membatasi pendirian berdasarkan kebutuhan nasional, bukan kepentingan politik atau ambisi pribadi.



Banyaknya organisasi advokat di Indonesia saat ini bukanlah simbol kemerdekaan profesi, melainkan simbol kerapuhan sistem hukum kita. Keadilan bukan lagi prioritas utama, melainkan dikerdilkan oleh urusan rivalitas organisasi, politik internal, dan perebutan pengaruh. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan hanya profesi advokat yang runtuh, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.



Maka, saatnya kita bersuara: hentikan fragmentasi tanpa arah, dan bangun sistem advokat yang kuat, beretika, dan berpihak pada keadilan — bukan pada organisasi.


Sekian pembahasan kita kali ini tentang Fragmentasi Organisasi Advokat: Ancaman Nyata bagi Tegaknya Keadilan


Jika ada kritik, saran atau ingin menambah materi untuk dipublikasikan silahkan kontak ke nomor WhatsApp yang tertera di boks redaksi.**