BT.COM -- Sejarah hukum Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang kolonialisme. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, bangsa ini menghadapi tantangan besar: membangun sistem hukum nasional. Tapi, ada satu keputusan menarik: Indonesia memilih untuk melanjutkan penggunaan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië — Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Belanda, bukan sistem hukum Jepang, meskipun Jepang juga pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun. Mengapa demikian? Mari kita bahas lebih dalam.
1. Durasi Penjajahan Belanda Jauh Lebih Lama
Salah satu alasan paling mendasar adalah soal durasi dan pengaruh. Belanda menjajah Indonesia selama lebih dari 350 tahun, sementara Jepang hanya berkuasa dari 1942 hingga 1945. Selama tiga abad lebih, Belanda membangun struktur pemerintahan, pendidikan, ekonomi, hingga hukum yang sangat sistematis dan mendalam. KUHP Belanda mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1918 dan diterapkan dengan penyesuaian lokal.
Bandingkan dengan Jepang: masa penjajahannya sangat singkat dan lebih berfokus pada kepentingan perang Asia Timur Raya. Jepang tidak sempat membangun sistem hukum yang mapan di Indonesia. Sebaliknya, Jepang bahkan lebih banyak menggunakan hukum militer dan peraturan darurat untuk mengendalikan rakyat.
Dengan latar belakang ini, masuk akal jika Indonesia saat itu merasa lebih realistis untuk tetap menggunakan sistem hukum yang sudah terlanjur kuat mengakar — yakni KUHP Belanda.
2. Stabilitas Hukum Diperlukan Pasca Kemerdekaan
Saat Indonesia merdeka, keadaan negara benar-benar genting. Ada revolusi fisik melawan Belanda, pergolakan internal, dan belum ada infrastruktur pemerintahan yang solid. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia tidak mungkin langsung menyusun sistem hukum baru dari nol.
Karena itu, pemerintah mengambil langkah pragmatis: menggunakan hukum yang sudah ada untuk menjaga ketertiban. Hal ini ditegaskan melalui aturan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi:
“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”
KUHP Belanda sudah tersedia, teruji, dan operasional. Dengan kata lain, KUHP Belanda adalah pilihan "siap pakai" yang paling logis.
3. KUHP Belanda Lebih Komprehensif dan Terorganisasi
Kalau dibandingkan, KUHP Belanda jauh lebih sistematis dan lengkap daripada hukum Jepang yang diterapkan di masa pendudukan. KUHP Belanda mengatur secara rinci semua aspek pidana: dari kejahatan terhadap negara, pribadi, harta benda, sampai pelanggaran ringan.
Sementara itu, di masa pendudukan Jepang, banyak aturan bersifat sementara, tidak disusun dalam satu kitab, dan lebih berorientasi militer. Jepang lebih fokus pada pengawasan ketat dan hukuman bagi siapa saja yang membangkang terhadap kekuasaan mereka, bukan pada membangun sistem hukum sipil.
Bagi negara yang baru merdeka dan butuh pondasi hukum yang kokoh, KUHP Belanda jelas lebih menjanjikan dibandingkan hukum Jepang.
4. Sumber Hukum Barat Lebih Universal
Ada juga pertimbangan ideologis. Hukum Belanda, seperti hukum di banyak negara Barat lainnya, menganut asas-asas yang lebih modern dan universal, misalnya tentang keadilan, kesetaraan di hadapan hukum, dan hak asasi manusia (meskipun tentu saja, dalam praktik kolonial, itu banyak dilanggar).
Sebaliknya, sistem hukum Jepang pada masa itu masih banyak dipengaruhi struktur feodal dan militeristik. Indonesia, sebagai bangsa baru yang ingin tampil di dunia internasional, lebih memilih nilai-nilai hukum Barat yang dianggap lebih "modern" dan lebih sesuai dengan semangat kemerdekaan.
5. Pengaruh Praktisi Hukum yang Terbiasa dengan Sistem Belanda
Saat Indonesia merdeka, hampir semua aparat hukum — hakim, jaksa, advokat — dididik dalam tradisi hukum Belanda. Mereka belajar hukum Belanda di sekolah hukum seperti Rechts Hogeschool di Batavia (sekarang Jakarta) atau sekolah-sekolah hukum di kota besar lainnya.
Jika Indonesia tiba-tiba mengubah sistem hukum ke model Jepang, berarti mereka semua harus belajar ulang dari awal — sebuah proses yang memerlukan waktu, tenaga, dan biaya besar. Demi efisiensi dan kesinambungan, Indonesia mempertahankan sistem yang sudah dikuasai para profesional hukumnya.
6. Sistem Hukum Jepang Belum Terbentuk Sempurna di Indonesia
Selama penjajahan Jepang, tidak ada usaha nyata untuk menginstitusikan hukum Jepang secara penuh di Indonesia. Mereka lebih banyak menggunakan kebijakan administratif dan tindakan militer. Beberapa pengadilan sipil tetap ada, tetapi pengaruh militer begitu kuat sehingga fungsi hukum sipil sangat terbatas.
Oleh karena itu, saat Jepang menyerah tahun 1945, Indonesia tidak mewarisi satu pun sistem hukum Jepang yang tertata rapi. Yang tersisa hanyalah sistem Belanda yang sebelumnya sudah berjalan.
7. Agenda Nasional: Bukan Sekadar Meniru, tapi Membentuk Hukum Sendiri
Meskipun Indonesia memakai KUHP Belanda, itu bukan berarti bangsa ini ingin terus-menerus bergantung pada hukum kolonial. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa sudah bercita-cita membentuk hukum nasional yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia.
Itulah sebabnya dalam perjalanan waktu, KUHP Belanda banyak disesuaikan melalui perubahan-perubahan lokal. Bahkan, setelah 77 tahun merdeka, Indonesia akhirnya berhasil mengesahkan KUHP Nasional baru pada tahun 2022, menggantikan KUHP Belanda sepenuhnya.
Namun, transisi itu memakan waktu puluhan tahun, menunjukkan betapa kuat dan dalamnya akar hukum Belanda di Indonesia.
Indonesia memilih mengadopsi KUHP Belanda, bukan Jepang, karena alasan yang sangat rasional: durasi penjajahan yang lama, kebutuhan akan stabilitas hukum, kelengkapan sistem, kesiapan praktisi hukum, dan orientasi ke arah nilai-nilai modern.
Pilihan itu bukan soal "menjilat kolonialisme", melainkan strategi cerdas bangsa yang baru lahir untuk menjaga ketertiban sambil menyiapkan pondasi menuju hukum nasional sejati. Sejarah membuktikan, akhirnya Indonesia memang berhasil memiliki KUHP buatan sendiri — hasil perjuangan panjang yang patut dibanggakan.
Sekian pembahasan kita kali ini tentang Mengapa Indonesia Mengadopsi KUHP Belanda, Bukan Jepang? Ini Alasannya
Jika ada kritik, saran atau ingin menambah materi untuk dipublikasikan silahkan kontak ke nomor WhatsApp yang tertera di boks redaksi.**