Dalam beberapa tahun terakhir, wacana mengenai “legalitas media” kerap dibicarakan dengan menekankan bahwa sebuah perusahaan pers atau media harus terdaftar di Dewan Pers agar dianggap sah. Tidak jarang, klaim ini dipakai untuk menyingkirkan media-media kecil yang belum memiliki akses atau sumber daya cukup untuk mendaftar. Bahkan ada anggapan yang berkembang di masyarakat, bahwa media yang tidak tercatat di Dewan Pers adalah “ilegal”. Padahal, jika kita mau membaca Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) secara jernih, maka klaim itu jelas keliru.
Mengapa keliru? Karena UU Pers tidak pernah menyebut bahwa syarat menjadi media yang sah adalah “terdaftar di Dewan Pers”. UU hanya menyebut satu syarat pokok: media harus berbadan hukum. Dan badan hukum itu bukan produk Dewan Pers, melainkan produk negara yang dikeluarkan melalui Kementerian Hukum dan HAM. Inilah yang seringkali disalahpahami, atau bahkan sengaja dipelintir, demi kepentingan tertentu.
Pasal 1 ayat (2) UU Pers mendefinisikan perusahaan pers sebagai badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers. Kata kuncinya jelas: badan hukum Indonesia. Sementara Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa perusahaan pers wajib berbadan hukum. Itu adalah satu-satunya kewajiban hukum yang diatur dalam UU.
Pertanyaannya: siapa yang berwenang menerbitkan pengesahan badan hukum? Jawabannya bukan Dewan Pers, melainkan Kementerian Hukum dan HAM. Saat sebuah media didirikan dengan bentuk Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, atau Koperasi, maka akta pendiriannya disahkan oleh notaris dan kemudian mendapatkan SK pengesahan dari Kemenkumham. Di titik itulah media tersebut telah sah sebagai badan hukum menurut hukum Indonesia.
Tidak ada satu pasal pun dalam UU Pers yang mewajibkan media mendaftar ke Dewan Pers. Dewan Pers memang diatur dalam UU sebagai lembaga independen yang berfungsi melindungi kemerdekaan pers, menetapkan standar, dan memfasilitasi penyelesaian sengketa. Namun, fungsi itu berbeda dari fungsi administratif legalitas badan hukum.
Di ruang publik, sering terdengar klaim seperti “media X sudah legal karena terdaftar di Dewan Pers”, atau sebaliknya “media Y ilegal karena belum masuk Dewan Pers”. Klaim ini adalah bentuk kekeliruan membaca UU Pers.
Kita perlu membedakan antara legalitas hukum dan standar organisasi profesi. Legalitas hukum media ditentukan oleh status badan hukum yang sah dari negara. Selama sebuah media memiliki SK Kemenkumham, maka ia legal. Adapun pendaftaran ke Dewan Pers lebih tepat dipahami sebagai bentuk partisipasi dalam standar profesi pers yang ditetapkan lembaga tersebut. Itu sifatnya administratif dan sukarela, bukan syarat legalitas.
Menyamakan keanggotaan atau pendaftaran di Dewan Pers dengan legalitas hukum justru menyalahi prinsip keadilan. Sama halnya seperti seorang advokat: legalitas profesinya ditentukan oleh sumpah advokat dan pengesahan pengadilan, bukan semata oleh organisasi advokat tertentu. Seorang advokat boleh tidak tergabung dalam organisasi besar, tapi tetap sah berpraktik karena sumpahnya dikeluarkan oleh lembaga negara. Logika yang sama berlaku untuk media.
Mengapa isu ini penting? Karena menyamakan “legalitas” dengan “terdaftar di Dewan Pers” berpotensi menyingkirkan media kecil atau media baru dari ruang publik. Bayangkan sebuah media lokal yang baru dirintis, dengan modal terbatas, sudah bersusah payah mendirikan PT dan mendapatkan SK Kemenkumham. Menurut hukum negara, ia sah. Namun kemudian muncul stigma: karena belum masuk database Dewan Pers, media itu dianggap ilegal. Akibatnya, akses mereka ke narasumber, kerja sama iklan, hingga legitimasi di mata publik menjadi terhambat.
Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemerdekaan pers. UU Pers lahir untuk melindungi kebebasan itu, bukan membatasi. Pasal 4 UU Pers bahkan menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Jika sebuah media sudah berbadan hukum sah, maka ia berhak menjalankan kerja jurnalistiknya tanpa harus menunggu “stempel” dari Dewan Pers.
Keadilan juga menuntut agar tidak ada diskriminasi antara media besar dan media kecil. Menyebut hanya media yang terdaftar di Dewan Pers yang sah, berarti memberi privilese kepada segelintir media besar yang lebih mapan, sementara yang kecil dipinggirkan. Ini bukanlah semangat UU Pers yang egaliter.
Perlu kita letakkan fungsi Dewan Pers secara proporsional. Dewan Pers, sesuai Pasal 15 UU Pers, memiliki tugas: melindungi kemerdekaan pers, meningkatkan kualitas pers, menetapkan standar profesi, dan memfasilitasi penyelesaian sengketa. Fungsi-fungsi ini bersifat normatif dan fasilitatif, bukan administratif legalitas.
Artinya, media yang memilih mendaftar ke Dewan Pers dapat memperoleh keuntungan berupa perlindungan, akses standar verifikasi, dan mekanisme sengketa. Namun, media yang belum atau tidak mendaftar tetap sah selama berbadan hukum. Mereka hanya tidak mendapatkan fasilitas tertentu dari Dewan Pers, bukan berarti ilegal.
Sama halnya dengan organisasi profesi wartawan. Wartawan yang tidak menjadi anggota organisasi tertentu tetap sah sebagai wartawan selama bekerja di media berbadan hukum. Organisasi profesi memberi standar etik dan jejaring, tetapi tidak bisa membatalkan legalitas seseorang sebagai wartawan.
Menganggap hanya media yang terdaftar di Dewan Pers yang sah membuka peluang monopoli tafsir. Jika dibiarkan, hal ini berpotensi menjadi instrumen politik atau ekonomi untuk mengontrol media. Media yang kritis bisa dilemahkan dengan cara distigma “ilegal” karena tidak tercatat. Padahal, legalitasnya sudah jelas dari negara melalui Kemenkumham.
Monopoli tafsir ini berbahaya bagi demokrasi. Pers adalah salah satu pilar demokrasi, dan meminggirkan sebagian media sama artinya dengan mempersempit ruang kebebasan publik. Kemerdekaan pers harus dijaga agar tidak dikendalikan oleh lembaga manapun, termasuk Dewan Pers.
Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum, ukuran legalitas adalah peraturan perundang-undangan dan produk hukum negara, bukan tafsir sepihak dari suatu lembaga. Selama UU Pers menyebut badan hukum sebagai syarat, maka badan hukum itulah ukuran legalitas. PT yang disahkan oleh Kemenkumham adalah produk resmi negara. Oleh karena itu, media berbadan hukum otomatis legal tanpa harus menunggu pengakuan tambahan dari Dewan Pers.
Dewan Pers tetap penting, tetapi fungsinya bukan mengesahkan legalitas, melainkan menjaga kualitas dan melindungi kebebasan pers. Mari kita letakkan peran lembaga ini secara tepat, agar tidak menjadi alat diskriminasi.
Opini bahwa media sah hanya jika terdaftar di Dewan Pers adalah bentuk reduksi terhadap UU Pers. Logika hukum dan logika keadilan sama-sama menunjukkan bahwa yang menjadi syarat mutlak hanyalah badan hukum dari Kemenkumham. Media yang sudah berbadan hukum adalah sah dan legal, terlepas dari apakah ia masuk database Dewan Pers atau tidak.
Kita perlu berhenti menyebarkan stigma yang salah. Sebab, stigma itu merugikan media kecil, menghambat kemerdekaan pers, dan bertentangan dengan prinsip demokrasi. Legalitas media ada di tangan negara, bukan di tangan lembaga.
Dengan memahami hal ini, kita sedang menegakkan logika keadilan: bahwa setiap media, besar atau kecil, pusat maupun daerah, selama berbadan hukum sah, berhak hidup dan bersuara di ruang publik.
Catatan Redaksi