Notification

×

Kenapa Uang Bisa Dicetak, Tapi Hutang Negara Tetap Numpuk!

Senin, 04 Agustus 2025 | Agustus 04, 2025 WIB Last Updated 2025-08-05T03:29:40Z


BT.COM -- Di tengah meningkatnya utang negara yang menembus ribuan triliun rupiah, banyak masyarakat awam bertanya-tanya: kalau uang bisa dicetak oleh pemerintah, kenapa tidak cetak saja banyak-banyak untuk bayar utang? Pertanyaan ini masuk akal di permukaan, tapi jawabannya jauh lebih rumit dan penuh jebakan ekonomi yang bisa mengancam stabilitas negara.


Cetak Uang Itu Mudah, Tapi Risikonya Berat


Secara teknis, Bank Indonesia memang memiliki kewenangan untuk mencetak uang. Namun, mencetak uang bukan seperti memperbanyak fotokopi. Setiap lembar rupiah yang beredar harus memiliki "nilai", dan nilai itu bukan datang dari kertasnya, melainkan dari kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap kestabilan ekonomi Indonesia.


Jika pemerintah nekat mencetak uang dalam jumlah besar hanya untuk membayar utang, maka nilai uang bisa anjlok. Situasi ini disebut hiperinflasi, seperti yang pernah terjadi di Zimbabwe dan Venezuela. Masyarakat di sana punya jutaan uang kertas di dompet, tapi tidak bisa membeli sepotong roti.


Mengapa Utang Negara Terus Bertambah?


Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa utang Indonesia per Mei 2025 sudah menembus lebih dari Rp8.000 triliun. Angka ini terus naik karena belanja negara—termasuk subsidi, infrastruktur, dan gaji aparatur sipil—melebihi pendapatan negara dari pajak dan sumber lain.


Alih-alih mencetak uang, pemerintah memilih berutang lewat penerbitan surat utang negara. Alasannya sederhana: ini dianggap cara lebih sehat untuk menjaga stabilitas ekonomi, meskipun pada akhirnya tetap menambah beban rakyat lewat bunga dan pembayaran pokok.


Namun, ini menimbulkan pertanyaan serius: Kenapa pemerintah tidak berani menekan pengeluaran, membasmi korupsi, dan memperbaiki sistem perpajakan daripada terus berutang? Apakah kita sedang menambal lubang dengan menggali lubang baru yang lebih dalam?


Cetak Uang Pernah Dilakukan – dan Sukses?


Fakta menarik, Indonesia pernah mencetak uang untuk menutup defisit besar akibat pandemi COVID-19 pada tahun 2020-2021. Saat itu, Bank Indonesia membeli surat utang pemerintah dan menyerap ratusan triliun rupiah tanpa memicu inflasi tinggi.


Namun, kondisi saat itu luar biasa—darurat nasional, ekonomi runtuh, dan seluruh dunia menerapkan kebijakan serupa. Kini, ketika ekonomi sudah berangsur pulih, strategi mencetak uang kembali bisa menimbulkan ketidakpercayaan pasar, membuat nilai tukar rupiah jatuh, dan mendorong harga-harga naik tajam.


Apakah Ada Jalan Tengah?


Para ekonom menawarkan solusi jangka menengah: alih-alih mencetak uang atau terus menambah utang, pemerintah harus fokus pada efisiensi anggaran, digitalisasi pajak, dan penertiban korupsi. Setiap rupiah dari rakyat harus benar-benar sampai ke program pembangunan, bukan bocor di jalan.


Selain itu, perlu ada transparansi dalam pengelolaan utang. Rakyat berhak tahu: untuk apa utang digunakan, siapa yang mengelola, dan bagaimana rencana pelunasannya.


Jangan Butakan Rakyat dengan Istilah Teknis


Pemerintah dan Bank Indonesia sering menyembunyikan kebijakan di balik istilah seperti quantitative easing, monetisasi utang, atau burden sharing. Namun masyarakat tidak bodoh. Mereka tahu harga kebutuhan pokok naik, tahu utang semakin besar, dan bertanya dengan jujur: kenapa negara bisa mencetak uang, tapi rakyat tetap dibebani cicilan utang negara?


Jika tidak ada reformasi nyata dalam pengelolaan keuangan negara, maka mencetak uang atau menambah utang hanyalah dua sisi dari mata uang yang sama: menunda masalah dengan konsekuensi yang lebih berat di masa depan.**