Oleh: Redaksi Khusus | Agustus 2025
“Sekolah mengajarkan kita mencari pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan. Sistem ini dirancang bukan untuk membuat kita bebas, tapi patuh.”
Indonesia telah merdeka puluhan tahun (tahun ini mencapai 80 tahun), namun sistem pendidikannya masih berjalan dalam kerangka lama: mencetak generasi pekerja. Sejak bangku sekolah dasar, anak-anak diajarkan untuk belajar yang rajin agar dapat pekerjaan yang baik. Tapi sangat sedikit hampir tidak ada yang diajarkan cara menciptakan uang, membangun bisnis, atau mengelola keuangan.
Pertanyaannya: Mengapa demikian? Dan siapa yang diuntungkan?
Pola Lama yang Belum Bergeser
Sistem pendidikan Indonesia merupakan warisan dari masa kolonial Belanda, yang kala itu dirancang untuk mencetak tenaga administrasi kelas menengah bukan pengusaha, bukan pemilik modal.
Menurut data Kemendikbud Ristek (2024):
Hanya 2,3% kurikulum nasional yang menyentuh topik kewirausahaan atau keuangan.
83% materi pelajaran masih berfokus pada hafalan dan teori akademik.
95% siswa SMA/SMK bercita-cita menjadi pegawai atau ASN, bukan pemilik usaha (BPS, 2023).
Siapa Diuntungkan dari Sistem Ini?
Tak dapat dimungkiri, masyarakat yang bekerja dan bergaji tetap menjadi konsumen paling ideal bagi industri perbankan, ritel, dan pembiayaan. Dalam sistem ini:
Perbankan meraup lebih dari Rp200 triliun laba bersih per tahun dari pinjaman konsumtif (OJK, 2024).
Industri pendidikan swasta menjadi bisnis besar dengan nilai pasar lebih dari Rp110 triliun.
Masyarakat dengan penghasilan tetap lebih mudah “dikendalikan” dalam pola utang dan belanja.
Sistem ini menciptakan generasi yang bekerja untuk uang, bukan membuat uang bekerja untuk mereka.
Kegagalan Literasi Finansial
Krisis ini terlihat jelas dalam data Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
7 dari 10 anak muda tidak paham cara mengelola keuangan pribadi.
9 dari 10 tidak memiliki investasi atau aset produktif.
Utang konsumtif generasi muda naik hingga 300% dalam lima tahun terakhir.
Lalu apa yang sebenarnya diajarkan di sekolah?
“Kami tidak diajarkan apa itu arus kas, investasi, atau pengelolaan risiko. Tapi kami tahu rumus trapesium.”Ujar sumber terpercaya yang menyandang gelar Sarjana Ekonomi, 2024
Bandingkan dengan Negara Lain
Beberapa negara telah bertransformasi:
Finlandia: Pendidikan keuangan diajarkan sejak usia 9 tahun.
Singapura: Sistem politeknik fokus pada inovasi dan penciptaan usaha kecil.
Vietnam: Menjadi salah satu negara ASEAN dengan jumlah pengusaha muda tertinggi (ADB, 2024).
Sementara Indonesia masih berkutat pada ujian nasional, hafalan, dan sistem ranking.
Mengapa Kita Tidak Diajarkan Menciptakan Uang?
Menciptakan uang berarti menciptakan sistem baru, bisnis, dan solusi. Tapi sistem pendidikan kita masih takut pada gagasan tersebut.
Masalahnya:
1. Guru tidak diberdayakan secara inovatif.
Kurikulum yang kaku mengekang kreativitas pengajaran.
2. Sekolah tidak diberi anggaran untuk simulasi bisnis.
Praktik langsung hampir nihil.
3. Hubungan dunia usaha dan pendidikan sangat lemah.
Kolaborasi hanya terjadi di permukaan, bukan substansi.
“Kurikulum nasional masih diatur oleh teknokrat, bukan pelaku bisnis atau inovator."
Siapa yang Atur Permainan Ini?
Apakah ini konspirasi? Tidak harus demikian. Tapi ada pola jelas:
Pemerintah dan birokrasi lebih fokus pada output formal, bukan kualitas manusia.
Korporasi dan industri lebih nyaman dengan tenaga kerja siap pakai.
Lembaga keuangan mendapat untung besar dari masyarakat yang bekerja keras tapi tidak tahu cara membangun kekayaan.
Dalam sistem seperti ini, hanya sedikit orang yang “naik kelas”—dan mayoritas tetap menjadi roda dalam mesin ekonomi orang lain.
Berani Mengubah Akar Sistem
Reformasi pendidikan harus dilakukan dari dalam dan dari bawah. Beberapa langkah kunci:
1. Tambahkan literasi finansial dan kewirausahaan dalam kurikulum sejak SD.
2. Latih guru agar jadi fasilitator kreativitas, bukan penghafal RPP.
3. Dorong kolaborasi nyata antara sekolah dan pelaku industri.
4. Buka akses untuk simulasi bisnis dan keuangan riil di sekolah.
5. Perkuat jalur pendidikan informal dan mandiri melalui teknologi.
Saatnya Ciptakan Permainan Sendiri
Selama pendidikan hanya mengajarkan cara mencari uang, maka generasi muda akan terus berada di ujung rantai ekonomi bekerja, berutang, lalu pensiun tanpa kebebasan finansial.
"Jika sistem ini terus berjalan, maka yang kaya akan semakin kaya karena tahu cara menciptakan uang, sementara yang lainnya hanya tahu cara mengejarnya."
Kini saatnya bertanya:
Apakah kita masih ingin jadi bagian dari permainan yang sama, atau mulai menciptakan permainan kita sendiri?